- Permasalahan Eksternal Pendidikan Masa Kini
Permasalahan eksternal pendidikan di Indonesia dewasa ini
sesungguhnya sangat komplek. Hal ini dikarenakan oleh kenyataan
kompleksnya dimensi-dimensei eksternal pendidikan itu sendiri.
Dimensi-dimensi eksternal pendidikan meliputi dimensi sosial, politik,
ekonomi, budaya, dan bahkan juga dimensi global.
Dari berbagai permasalahan pada dimensi eksternal pendidikan di
Indonesia dewasa ini, makalah ini hanya akan menyoroti dua permasalahan,
yaitu permasalahan globalisasi dan permasalahan perubahan sosial.
Permasalahan globalisasi menjadi penting untuk disoroti, karena ia
merupakan trend abad ke-21 yang sangat kuat pengaruhnya pada segenap
sector kehidupan, termasuk pada sektor pendidikan. Sedangakan permasalah
perubahan social adalah masalah “klasik” bagi pendidikan, dalam arti ia
selalu hadir sebagai permasalahan eksternal pendidikan, dan karenya
perlu dicermati. Kedua permasalahan tersebut merupakan tantangan yang
harus dijawab oleh dunia pendidikan, jika pendidikan ingin berhasil
mengemban misi (amanah) dan fungsinya berdasarkan paradigma etika masa
depan.
2. Permasalahan Globalisasi
Globalisasi mengandung arti terintegrasinya kehidupan nasional ke
dalam kehidupan global. Dalam bidang ekonomi, misalnya, globalisasi
ekonomi berarti terintegrasinya ekonomi nasional ke dalam ekonomi dunia
atau global (Fakih, 2003: 182). Bila dikaitkan dalam bidang pendidikan,
globalisasi pendidikan berarti terintegrasinya pendidikan nasional ke
dalam pendidikan dunia. Sebegitu jauh, globalisasi memang belum
merupakan kecenderungan umum dalam bidang pendidikan. Namun gejala
kearah itu sudah mulai Nampak.
Sejumlah SMK dan SMA di beberapa kota di Indonesia sudah menerapkan
sistem Manajemen Mutu (Quality Management Sistem) yang berlaku secara
internasional dalam pengelolaan manajemen sekolah mereka, yaitu SMM ISO
9001:2000; dan banyak diantaranya yang sudah menerima sertifikat ISO.
Oleh karena itu, dewasa ini globalisasi sudah mulai menjadi
permasalahan actual pendidikan. Permasalahan globalisasi dalam bidang
pendidikan terutama menyangkut output pendidikan. Seperti diketahui, di
era globalisasi dewasa ini telah terjadi pergeseran paradigma tentang
keunggulan suatu Negara, dari keunggulan komparatif (Comperative
adventage) kepada keunggulan kompetitif (competitive advantage).
Keunggulam komparatif bertumpu pada kekayaan sumber daya alam, sementara
keunggulan kompetitif bertumpu pada pemilikan sumber daya manusia (SDM)
yang berkualitas (Kuntowijoyo, 2001: 122).
Dalam konteks pergeseran paradigma keunggulan tersebut, pendidikan
nasional akan menghadapi situasi kompetitif yang sangat tinggi, karena
harus berhadapan dengan kekuatan pendidikan global. Hal ini berkaitan
erat dengan kenyataan bahwa globalisasi justru melahirkan semangat
cosmopolitantisme dimana anak-anak bangsa boleh jadi akan memilih
sekolah-sekolah di luar negeri sebagai tempat pendidikan mereka,
terutama jika kondisi sekolah-sekolah di dalam negeri secara kompetitif
under-quality (berkualitas rendah). Kecenderungan ini sudah mulai
terlihat pada tingkat perguruan tinggi dan bukan mustahil akan merambah
pada tingkat sekolah menengah.
Bila persoalannya hanya sebatas tantangan kompetitif, maka masalahnya
tidak menjadi sangat krusial (gawat). Tetapi salah satu ciri
globalisasi ialah adanya “regulasi-regulasi”. Dalam bidang pendidikan
hal itu tampak pada batasan-batasan atau ketentuan-ketentuan tentang
sekolah berstandar internasional. Pada jajaran SMK regulasi sekolah
berstandar internasional tersebut sudah lama disosialisasikan. Bila
regulasi berstandar internasional ini kemudian ditetapkan sebagai
prasyarat bagi output pendidikan untuk memperolah untuk memperoleh akses
ke bursa tenaga kerja global, maka hal ini pasti akan menjadi
permasalah serius bagi pendidikan nasional.
Globalisasi memang membuka peluang bagi pendidikan nasional, tetapi
pada waktu yang sama ia juga mengahadirkan tantangan dan permasalahan
pada pendidikan nasional. Karena pendidikan pada prinsipnya mengemban
etika masa depan, maka dunia pendidikan harus mau menerima dan
menghadapi dinamika globalisasi sebagai bagian dari permasalahan
pendidikan masa kini.
3. Permasalahan Perubahan Sosial
Ada sebuah adegium yang menyatakan bahwa di dunia ini tidak ada yang
abadi, semuanya berubah; satu-satunya yang abadi adalah perubahan itu
sendiri. Itu artinya, perubahan sosial merupakan peristiwa yang tidak
bisa dielakkan, meskipun ada perubahan sosial yang berjalan lambat dan
ada pula yang berjalan cepat.
Bahkan salah satu fungsi pendidikan, sebagaimana dikemukakan di atas,
adalah melakukan inovasi-inovasi sosial, yang maksudnya tidak lain
adalah mendorong perubahan sosial. Fungsi pendidikan sebagai agen
perubahan sosial tersebut, dewasa ini ternyata justru melahirkan
paradoks.
Kenyataan menunjukkan bahwa, sebagai konsekuansi dari perkembangan
ilmu perkembangan dan teknologi yang demikian pesat dewasa ini,
perubahan sosial berjalan jauh lebih cepat dibandingkan upaya pembaruan
dan laju perubahan pendidikan. Sebagai akibatnya, fungsi pendidikan
sebagai konservasi budaya menjadi lebih menonjol, tetapi tidak mampu
mengantisipasi perubahan sosial secara akurat (Karim, 1991: 28). Dalam
kaitan dengan paradoks dalam hubungan timbal balik antar pendidikan dan
perubahan sosial seperti dikemukakan di atas, patut kiranya dicatat
peringatan Sudjatmoko (1991:30) yang menyatakan bahwa Negara-negara yang
tidak mampu mengikuti revolusi industri mutakhir akan ketinggalan dan
berangsur-angsur kehilangan kemampuan untuk mempertahankan kedudukannya
sebagai Negara merdeka. Dengan kata lain, ketidakmampuan mengelola dan
mengikuti dinamika perubahan sosial sama artinya dengan menyiapkan
keterbelakangan. Permasalahan perubahan sosial, dengan demikian harus
menjadi agenda penting dalam pemikiran dan praksis pendidikan nasional.
4. Permasalahan Internal pendidikan masa kini
Seperti halnya permasalahan eksternal, permasalahan internal
pendidikan di Indonesia masa kini adalah sangat kompleks. Daoed Joefoef
(2001: 210-225) misalnya, mencatat permasalahan internal pendidikan
meliputi permasalahan-permasalahan yang berhubungan dengan strategi
pembelajaran, peran guru, dan kurikulum. Selain ketiga permasalahan
tersebut sebenarnya masih ada jumlah permasalahan lain, seperti
permasalahan yang berhubungan dengan sistem kelembagaan, sarana dan
prasarana, manajemen, anggaran operasional, dan peserta didik. Dari
berbagai permasalahan internal pendidikan dimaksud, makalah ini hanya
akan membahas tiga permasalahan internal yang di pandang cukup menonjol,
yaitu permasalahan sistem kelembagaan, profesionalisme guru, dan
strategi pembelajaran.
5. Permasalahan sistem kelembagaan pendidikan
Permasalahan sistem kelembagaan pendidikan yang dimaksud dengan
uraian ini ialah mengenai adanya dualisme atau bahkan dikotomi antar
pendidikan umum dan pendidikan agama. Dualisme atau dikotomi antara
pendidikan umum dan pendidikan agama ini agaknya merupakan warisan dari
pemikiran Islam klasik yang memilah antara ilmu umum dan ilmu agama atau
ilmu ghairuh syariah dan ilmu syariah, seperti yang terlihat dalam
konsepsi al-Ghazali (Otman, 1981: 182).
Dualisme dikotomi sistem kelembagaan pendidikan yang berlaku di
negeri ini kita anggap sebagai permasalahan serius, bukan saja karena
hal itu belum bisa ditemukan solusinya hingga sekarang, melainkan juga
karena ia, menurut Ahmad Syafii Maarif (1987:3) hanya mampu melahirkan
sosok manusia yang “pincang”. Jenis pendidikan yang pertama melahirkan
sosok manusia yang berpandangan sekuler, yang melihat agama hanya
sebagai urusan pribadi.
Sedangkan sistem pendidikan yang kedua melahirkan sosok manusia yang
taat, tetapi miskim wawasan. Dengan kata lain, adanya dualisme dikotomi
sistem kelembagaan pendidikan tersebut merupakan kendala untuk dapat
melahirkan sosok manusia Indonesia “seutuhnya”. Oleh karena itu, Ahmad
Syafii Maarif (1996: 10-12) menyarankan perlunya modal pendidikan yang
integrative, suatu gagasan yang berada di luar ruang lingkup pembahasan
makalah ini.
6. Permasalahan Profesionalisme Guru
Salah satu komponen penting dalam kegiatan pendidikan dan proses
pembelajaran adalah pendidik atau guru. Betapapun kemajuan taknologi
telah menyediakan berbagai ragam alat bantu untuk meningkatkan
efektifitas proses pembelajaran, namun posisi guru tidak sepenuhnya
dapat tergantikan. Itu artinya guru merupakan variable penting bagi
keberhasilan pendidikan.
Menurut Suyanto (2006: 1), “guru memiliki peluang yang amat besar
untuk mengubah kondisi seorang anak dari gelap gulita aksara menjadi
seorang yang pintar dan lancar baca tulis alfabetikal maupun fungsional
yang kemudian akhirnya ia bisa menjadi tokoh kebanggaan komunitas dan
bangsanya”. Tetapi segera ditambahkan: “guru yang demikian tentu bukan
guru sembarang guru. Ia pasti memiliki profesionalisme yang tinggi,
sehingga bisa “digugu lan ditiru”.
Lebih jauh Suyanto (2006: 28) menjelaskan bahwa guru yang profesional
harus memiliki kualifikasi dan ciri-ciri tertentu. Kualifikasi dan
ciri-ciri dimaksud adalah: (a) harus memiliki landasan pengetahuan yang
kuat, (b) harus berdasarkan atas kompetensi individual, (c) memiliki
sistem seleksi dan sertifikasi, (d) ada kerja sama dan kompetisi yang
sehat antar sejawat, (e) adanya kesadaran profesional yang tinggi, (f)
meliki prinsip-prinsip etik (kide etik), (g) memiliki sistem seleksi
profesi, (h) adanya militansi individual, dan (i) memiliki organisasi
profesi.
Dari ciri-ciri atau karakteristik profesionalisme yang dikemukakan di
atas jelaslah bahwa guru tidak bisa datang dari mana saja tanpa melalui
sistem pendidikan profesi dan seleksi yang baik. Itu artinya pekerjaan
guru tidak bisa dijadikan sekedar sebagai usaha sambilan, atau pekerjaan
sebagai
moon-lighter. Namun kenyataan dilapangan menunjukkan
adanya guru terlebih terlebih guru honorer, yang tidak berasal dari
pendidikan guru, dan mereka memasuki pekerjaan sebagai guru tanpa
melalui system seleksi profesi. Singkatnya di dunia pendidikan nasional
ada banyak, untuk tidak mengatakan sangat banyak, guru yang tidak
profesioanal. Inilah salah satu permasalahan internal yang harus menjadi
“pekerjaan rumah” bagi pendidikan nasional masa kini.
7. Permasalahan Strategi Pembelajaran
Menurut Suyanto (2006: 15-16) era globalisasi dewasa ini mempunyai
pengaruh yang sangat signifikan terhadap pola pembelajaran yang mampu
memberdayakan para peserta didik. Tuntutan global telah mengubah
paradigma pembelajaran dari paradigma pembelajaran tradisional ke
paradigma pembelajaran baru. Suyanto menggambarkan paradigma
pembelajaran sebagai berpusat pada guru, menggunakan media tunggal,
berlangsung secara terisolasi, interaksi guru-murid berupa pemberian
informasi dan pengajaran berbasis factual atau pengetahuan.
Paulo Freire (2002: 51-52) menyebut strategi pembelajaran tradisional
ini sebagai strategi pelajaran dalam “gaya bank” (banking concept). Di
pihak lain strategi pembelajaran baru digambarkan oleh Suyanto sebagai
berikut: berpusat pada murid, menggunakan banyak media, berlangsung
dalam bentuk kerja sama atau secara kolaboratif, interaksi guru-murid
berupa pertukaran informasi dan menekankan pada pemikiran kritis serta
pembuatan keputusan yang didukung dengan informasi yang kaya. Model
pembelajaran baru ini disebut oleh Paulo Freire (2000: 61) sebagai
strategi pembelajaran “hadap masalah” (problem posing).
Meskipun dalam aspirasinya, sebagaimana dikemukakan di atas, dewasa
ini terdapat tuntutan pergeseran paradigma pembelajaran dari model
tradisional ke arah model baru, namun kenyataannya menunjukkan praktek
pembelajaran lebih banyak menerapkan strategi pembelajaran tradisional
dari pembelajaran baru (Idrus, 1997: 79). Hal ini agaknya berkaitan erat
dengan rendahnya professionalisme guru.